Catatan Perjalanan: Yogyakarta Punya Cerita

December 31, 2015 • Album, Travel

Apabila mempelajari sejarah Nusantara kita tahu bahwa dahulu terdapat kerajaan-kerajaan dari waktu ke waktu. Kehidupan pada zaman kerajaan tentu jauh berbeda dengan kehidupan zaman sekarang. Meski demikian, di Yogyakarta kita masih bisa merasakan kehidupan masyarakat dalam sebuah kerajaan, serta menyusuri situs-situs bersejarah seperti kraton (istana), benteng, candi, dan sebagainya.

Sejarah peradaban bangsa Indonesia banyak terjadi di seputar daerah ini. Karena itu Yogyakarta cocok untuk dijadikan sebagai base camp untuk menelusuri situs-situs di dalam kota maupun di kota-kota sekitarnya. Bukti-bukti peninggalan tersebut tersimpan dan terawat menanti untuk kita saksikan kembali.

Perjalananku menelusuri kota Yogyakarta ini seperti perjalanan menyusuri waktu. Berada di tengah-tengah situs bersejarah, ditambah mendengarkan kisah yang diceritakan oleh masyarakat atau catatan-catatan di museum membuka imajinasi untuk melihat dan merasakan kehidupan masa-masa itu yang terasa nyata.

Berhubung ini adalah catatan perjalananku, aku tidak akan membahas soal sejarah situs-situs tersebut, melainkan lebih tentang berbagi pengalaman perjalananku serta apa saja yang aku temukan selama satu minggu di sana.

Transportasi di Yogyakarta

Bandara Adi Sucipto

Berhubung aku dapat tiket pesawat murah, perjalananku di Yogyakarta dimulai dari bandara Adi Sucipto. Penerbangan dari Jakarta ke Yogyakarta hanya memakan waktu satu jam saja. Sehingga aku yang semalam masih sibuk ikut ujian bahasa di KCC, Jakarta, hingga larut malam, paginya sudah ada di kota yang terpisah 500 km jauhnya dari Jakarta.

Stasiun Yogyakarta

Bandara Adi Sucipto terintegrasi dengan stasiun kereta api lokal yang bisa menghantarkan sampai ke stasiun Yogyakarta dengan karcis 8.000 rupiah. Dari stasiun Yogyakarta aku berjalan ke arah timur dan tibalah aku di Jalan Malioboro. Satu-satunya jalan di Yogyakarta yang sudah aku kenal sebelumnya.

Selain menghubungkan pusat kota dengan bandara, kereta api Prameks juga bisa membawamu sampai ke kota Solo.

Ada dua stasiun yang berdekatan: Stasiun Yogyakarta, yang lebih dikenal dengan sebutan Stasiun Tugu, dan Stasiun Lempuyengan. Kereta api Prameks berhenti di kedua stasiun ini. Sedangkan kereta api eksekutif jarak jauh berangkat dan berhenti di Stasiun Yogyakarta.

Bus Trans Jogja

Bus Trans Jogja menjadi sarana transportasi favorit aku selama di Yogyakarta. Bus ini dilengkapi dengan AC, dan hanya berhenti di halte-halte khusus, layaknya bus Trans Jakarta. Walaupun ada banyak trayek dan semua busnya berwarna hijau, aku tidak kesulitan untuk pergi ke mana saja karena selalu ada petugas yang ramah menanyakan ke mana aku akan pergi dan memberitahukan nomor bus yang harus dinaiki.

Terminal Jombor

Untuk pergi ke Borobudur, aku menggunakan bus Trans Jogja yang berhenti di Terminal Jombor. Dari sini kita bisa menggunakan bus jurusan Borobudur – Yogyakarta dengan tarif 20.000 rupiah.

Sewa Motor

Mencari sewa motor ini susah-susah gampang. Susah kalau bertepatan dengan hari liburan karena stok motor habis. Gampang kalau kamu adalah pelancong dari luar negeri. Susah kalau kamu turis lokal karena mereka mungkin ogah menyewakan motornya sekalipun ada stok. Salah satu orang di penginapan menceritakan kalau dahulu pernah ada kasus motor yang dibawa kabur oleh penyewa lokal. Bisa jadi itu sebabnya kini sulit untuk menyewa motor.

Aku berhasil menyewa motor di Sanaya dengan meninggalkan kartu identitas dan difoto terlebih dahulu. Tidak perlu tersinggung kalau mereka memberikan kesan curiga terhadap kita. Senyum saja dan beri pose yang menarik waktu difoto.

Keliling Yogyakarta

Benteng Vredeburg

Berjalan menyusuri Jalan Malioboro terus ke selatan. Di penghujung jalan Malioboro, titik 0 km Yogyakarta, aku menjumpai sebuah benteng putih. Benteng apakah ini? Melihat ada banyak orang dan anak-anak sekolah memasuki tempat ini, pastilah ini sebuah lokasi yang terbuka untuk umum. Aku pun ikut masuk ke dalam benteng Vredeburg.

Benteng Vredeburg ini adalah sebuah benteng pertahanan dari serangan lawan. Dalam cerita-cerita, sebuah benteng pertahanan digambarkan dengan tembok yang tinggi dan tebal, dengan prajurit-prajurit yang muncul dan menembaki lawan dari atas tembok tersebut. Kalau sebelumnya aku hanya bisa membayangkan seperti apa berada di dalam benteng pertahanan, di sini aku bisa menyusuri sendiri mulai dari pintu gerbang, hingga mengelilingi tembok dari atas. Di bagian atas tembok masih terdapat lubang-lubang untuk menembak, pijakan untuk berdiri, juga dudukan meriam.

Prawirotaman

Jalan Prawirotaman ini sudah sejak dulu dikenal sebagai kampung turis. Kini orang sering menyebutnya sebagai kampung bule. Meskipun lokasinya cukup jauh dari pusat kota, namun jalan ini merupakan daerah favorit turis asing untuk menginap dan makan. Tidak seperti jalan Sosrowijayan atau Dagen, jalan ini tidak ramai oleh kerumunan orang dan pedagang kaki lima, sehingga lebih nyaman untuk tinggal. Jalan Prawirotaman banyak disebutkan dalam review-review buku panduan dan situs yang bisa jadi menambah popularitasnya di kalangan turis asing. Sedangkan turis domestik justru tidak terlalu mengenal daerah ini. Pengalaman yang menarik di sini adalah karena kebanyakan tamu yang datang adalah orang asing, maka tidak perlu heran kalau para staf, pelayan, atau bahkan tukang becak, menyapa dengan bahasa Inggris, bahasa Jepang, atau bahasa lain selain Indonesia.

Tips travel hemat: Kalau kita disapa dalam bahasa Inggris, jawab saja dengan bahasa Indonesia supaya mereka tahu kita orang Indonesia. Kalau tidak, bisa-bisa mereka menerapkan tarif pelancong asing yang harganya bisa sampai sepuluh kali lipat. Karena umumnya tempat pariwisata di Indonesia (di Yogya dalam hal ini) menerapkan dua jenis tarif: domestik dan asing.

Via Via Guesthouse

Via Via Guesthouse menjadi tempat bermalam selama di Yogyakarta. Tempatnya nyaman dan para stafnya ramah. Di pagi hari, selalu disediakan sarapan ala Western seperti pancake, sandwich, atau roti telur, disertai dengan buah-buahan ala Indonesia seperti rambutan, pisang, dan mangga. Kebanyakan tamu yang singgah di Via Via adalah backpacker. Jadi tidak jarang waktu sarapan disertai dengan saling sapa dan saling bertukar informasi tempat-tempat wisata dan rencana perjalanan hari itu.

Malioboro pagi

Malioboro di pagi hari tidak begitu ramai seperti di malam hari. Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan selain berbelanja suvenir, naik delman dan berfoto bersama kuda. Kalau datang atau pergi dengan kereta api, bisa jadi kita akan sering bulak-balik di jalan Malioboro.

Malioboro akhir pekan dan 0 km

Suasana Malioboro di akhir pekan jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Di akhir pekan, khususnya pada titik 0 km, aku menjumpai banyak pemain sandiwara yang berperan sebagai tokoh kartun, Wiro Sableng, pocong, patung tembaga, dan lain-lain.

Jalanan di Malioboro hanya satu arah, terdiri dari jalur kendaraan, jalur becak dan andong, dan trotoar. Pada titk 0 km, lebar trotoarnya dua pertiga keseluruhan jalan. Selain itu tersedia juga banyak tempat duduk. Jadi sepanjang jalan Malioboro ini memang sangat ramah pejalan kaki.

Mampir ke Taman Balekambang, Solo

Pada hari terakhir aku menyempatkan diri berkunjung sejenak ke Solo. Kota Solo terletak tidak terlalu jauh dari Yogyakarta, dan bisa dicapai dengan satu kali naik KA Prameks. Di sini aku mampir ke Taman Balekambang.

Taman Balekambang terbagi menjadi dua area yaitu Partini Tuin dan Partinah Bosch. Taman ini merupakan tempat yang nyaman untuk melepas penat sambil bersantai di bawah rindangnya pepohonan di area Partinah Bosch, atau sambil memancing di area Partini Tuin.

Menariknya Taman Balekambang adalah bukan hanya kita bisa bersantai di bawah pepohonan rindang, namun juga kita bisa berjumpa rusa dan angsa lalu lalang di depan kita. Salah satu rusa yang aku lihat kelihatannya tertarik dengan botol minum yang dibawa oleh pengunjung. Mungkin dia haus…

Di bagian belakang Taman Balekambang ada juga taman reptil, semacam kebun binatang mini. Di dalam taman reptil kita bisa melihat-lihat koleksi iguana, biawak, kura-kura, katak, dan ular. Bukan hanya reptil, rupanya mereka juga memelihara beberapa macam burung, seabrek burung dara, dan seekor musang pandan. Petugas di sana mengizinkan aku untuk berfoto bersama iguana, biawak, dan musang yang mana sudah mereka pelihara sejak kecil.

Kompleks Istana Kerajaan

Kraton Yogyakarta

Perangkat gamelan

Pusat Kraton Yogyakarta yang dibuka untuk umum memiliki dua pintu masuk. Pintu sebelah utara untuk masuk ke bangsal pagelaran benda-benda sejarah Kraton. Pintu sebelah barat untuk masuk ke bangsal lebih dalam, terbuka untuk siapa saja yang ingin melihat-lihat isi istana.

Di sini juga diadakan pementasan yang berbeda-beda setiap harinya. Saat aku kemari pada hari Kamis, aku menonton pementasan gamelan dan tari tradisional diiringi lantunan musik gamelan dan nyanyian oleh sinden.

Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya adalah benteng yang membentang di sebelah selatan kompleks Kraton. Apabila ingin mengunjungi Alun-Alun Kidul dari Prawirotaman, maka kemungkinan akan melalui jalan melintasi Plengkung Nirbaya. Pada malam hari, Plengkung Nirbaya diterangi lampu LED berwarna warni.

Alun Alun Kidul (Selatan)

Apabila Alun-Alun Lor menjadi kawasan untuk berbelanja, mencicip makanan dan bermain di taman ria, Alun-Alun Kidul merupakan kawasan yang lebih lengang untuk berekreasi meskipun ukurannya tidak sebesar Alun-Alun Lor. Pada siang hari tidak terlihat begitu banyak kegiatan. Namun jauh lebih menarik pada malam hari. Di malam hari berderet gemerlap lampu-lampu berbentuk mobil bergerak mengelilingi alun-alun. Kita bisa mencoba menaiki mobil goes gemerlap ini.

Istana Air Tamansari dan Sumur Gulungan

Sumur Gulungan adalah sebuah mesjid bawah tanah berbentuk melingkar dua tingkat. Pada bagian tengah terdapat tangga untuk naik ke lantai atas serta kolam untuk wudhu. Tangga ini terdiri dari lima ruas yang masing-masing terdiri dari sembilan anak tangga, melambangkan lima rukun Islam dan wali songo. Selain berfugnsi sebagai mesjid, Sumur Gulngan juga sekaligus berfungsi sebagai jalur penghubung kraton dan istana air. Pemanduku mengatakan bahwa jalur yang kini sudah rubuh dan tidak bisa dilalui itu juga terhubung sampai ke Parangtritis sebagai jalur pelarian. Sumur Gulungan ini terletak di antara pemukiman sehingga agak sulit menemukannya untuk pertama kali tanpa bantuan pemandu atau teman yang sudah pernah ke Sumur Gulungan.

Candi, Candi, Candi

Highlight perjalananku kali ini memang untuk menyusuri candi-candi di sekitar Yogyakarta. Seumur hidup aku hanya pernah sekali saja mengunjungi candi, candi Prambanan, ketika ikut wisata sekolah saat SMA dulu. Ketika itu candi masih dalam renovasi jadi aku tidak bisa melihat bagian dalam candi 🙁 Maka dari itu, kali ini aku menghabiskan tiga dari tujuh hari perjalanan untuk menyusuri candi sepuasnya!

Candi Prambanan

Bus Trans Jogja menghantarkanku ke Terminal Prambanan. Dari terminal, berjalanlah menyusuri jalan raya ke arah timur (kanan) hingga terlihat pintu masuk Candi Prambanan di seberang jalan. Rencanaku di Candi Prambanan untuk melihat-lihat candi, melihat matahari terbenam, dan dilanjutkan dengan menonton Ramayana Ballet. Sayang sekali hujan turun di sore hari sehingga tidak terlihat matahari sama sekali.

Dari sini sebenarnya aku bisa meneruskan ke Candi Boko sebelum kembali untuk menonton Ramayana Ballet malam harinya. Tapi karena sudah terlalu sore, sudah tidak ada kendaraan yang mengantarkan ke Candi Boko. Kendaraan terakhir berangkat sebelum pukul lima sore.

Candi Sambisari, Kalasan, Sari, Barong, dst

CandiTiketParkir (motor)
Sambisari2.0002.000
Kalasan2.000
Sari2.000
Plaosan3.0002.000
Barong2.000
Banyunibo2.000
Ijosukarela2.000

Tidak puas hanya mengunjungi candi Prambanan, apalagi candi Sewu, Bubrah, dan Lumbung sedang dalam renovasi, maka aku kembali ke daerah Prambanan untuk mengunjungi lebih banyak lagi candi. Karena lokasinya yang berjauhan, kali ini aku menyewa sepeda motor untuk mengunjungi candi Sambisari, Kalasan, Sari, Plaosan, Barong, Banyunibo, dan Ijo.

Perjalanan sehari tidak cukup untuk mengunjungi semua candi-candi di sekitar Prambanan apalagi pada hari dengan hujan yang deras. Menelusuri candi Ratu Boko menghabiskan waktu cukup lama, sehingga beberapa petugas setempat yang aku tanyai merekomendasikan untuk melewati candi Ratu Boko agar waktunya cukup. Aku ingin mengunjungi candi Ratu Boko juga, namun ternyata waktu yang aku alokasikan tidak cukup untuk menelusuri candi yang satu ini.

Selain candi Ratu Boko yang tidak sempat aku kunjungi, ternyata masih ada lagi beberapa situs lain yang terlewatkan, seperti candi Sojiwan, arca Ganesha, candi Miri, dan Sumberwatu.

Setelah melihat-lihat kawasan candi dan mengunjungi sebagian candi yang ada, aku pikir jika ingin mengunjungi semua candi di Prambanan dan sekitarnya, akan lebih pas jika dibagi menjadi dua hari:

  • Hari pertama dimulai dari candi Prambanan, lalu mengunjungi candi Lumbung, Bubrah dan Sewu (masih di kompleks candi Prambanan). Kemudian menggunakan shuttle ke candi Ratu Boko untuk melihat matahari terbenam. Malam harinya menonton Ramayana Ballet di candi Prambanan yang dimulai pukul 19:30.
  • Hari kedua menggunakan sepeda motor. Mengunjungi satu per satu candi dari arah Yogya: candi Sambisari, Kalasan, Sari, Plaosan, Barong, Banyunibo, Dawangsari, Miri, Sumberwatu, dan diakhiri candi Ijo sambil melihat matahari terbenam.

Candi Borobudur

Tidak berhasil melihat sunset di candi Prambanan, aku bertekad melihat sunset dan sunrise di candi Borobudur. Pagi menjelang siang aku sudah berangkat ke Malioboro untuk sarapan, lalu menuju ke Terminal Jombor menggunakan bus Trans Jogja. Aku pikir bisa tiba di lokasi sekitar jam empat sore.

Sayangnya, bus 2A yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Satu jam berlalu. Halte semakin penuh sesak oleh penumpang yang juga menunggu bus 2A. Akhirnya memang datang juga. Ternyata aku baru tiba di Terminal Jombor jam setengah lima. Rupanya setengah lima adalah waktu keberangkatan bus jurusan Yogyakarta – Borobudur yang terakhir. Setelah itu sudah tidak ada lagi bus yang datang.

Di terminal aku bertemu pasangan traveler dari Amerika, dan pasangan lain dari Eropa. Setelah berbincang-bincang sambil menunggu bus menuju Borobudur, akhirnya kami berlima sepakat menggunakan travel dengan biaya 40.000 per orang.

Hari sudah gelap setibanya di Borobudur. Lagipula, hujan turun sepanjang perjalanan. Tidak ada sunset hari ini. Aku putuskan untuk makan malam, lalu segera tidur untuk menyambut matahari terbit. Aku menginap di Lotus II yang tidak jauh dari situs candi. Kamarnya tidak sebersih dan seterang di Via Via, namun ukurannya sangat besar. Bisa jadi karena aku pertama menginap di penginapan yang begitu bagus, ekspektasiku terhadap penginapan jadi lebih tinggi dari semestinya.

Pagi-pagi benar pukul 4.30 aku sudah bangkit dan bersiap-siap untuk berangkat. Candi Borobudur baru buka pukul 6.00, tapi mereka menyediakan tiket khusus yang buka lebih awal melalui hotel Manohara. Semua sudah siap, aku sudah pakai sepatu, dan ketika kubuka pintu depan keluar penginapan, ya, hujan deras turun. Aku bimbang, apakah akan menerobos saja hujan itu sambil berharap hujan berhenti sebelum matahari terbit. Kalau hujan berhenti dan hari cerah, aku bisa lihat matahari. Kalau tidak, aku harus merelakan tiket seharga delapan kali lebih mahal untuk pengalaman yang sama dengan tiket regular. Tidak. Aku putuskan kembali lagi saja ke kamar.

Sekira pukul setengah enam aku berangkat untuk sarapan di depan situs candi sambil menunggu gerbang dibuka. Aku menjadi pengunjung pertama yang masuk, walaupun bukan yang pertama berada di atas candi. Sudah ada beberapa orang di candi, tetapi masih cukup sepi untuk mengambil gambar-gambar dengan leluasa. Benar saja, sekira pukul tujuh candi sudah penuh sesak oleh pengunjung. Apalagi dengan kehadiran berbagai rombongan anak sekolah. Aku sudah keluar candi dan melanjutkan dengan bersepeda.

Candi Pawon dan Mendut

Tidak jauh dari candi Borobudur, ada dua situs candi yang tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Dan lagi candi ini tidak sepenuh sesak candi Borobudur. Untuk ke dua lokasi ini, menyewa sepeda adalah pilihan terbaik, kecuali kalau memang ada kendaraan pribadi. Candi Pawon hampir tidak ada pengunjungnya, tetapi candi Mendut yang lebih ramai adalah situs yang wajib dikunjungi. Di dalam candi terdapat arca Buddha setinggi tiga meter dan juga dupa sembahyang. Candi Mendut terasa lebih hidup hingga masa kini ketimbang sebagai peninggalan atau sekadar objek wisata.

Mangan Yuk!

Gudeg Yu Djum

Makanan pertama yang aku makan setibanya di Yogyakarta!

Superman

Superman ini muncul di buku panduan wisata Lonely Planet. Dan memang seperti yang disebutkan di buku tersebut, daftar menunya sangat panjaaaaaaaang sampai aku bingung ingin memesan makanan apa. Akhirnya aku coba menu Steak Ala Superman. Yang menarik adalah kombinasi daging yang disajikan terdiri dari ayam, sapi, dan udang. Sedangkan rasanya sih biasa saja.

Bedhot Resto

Sepanjang jalan Sosrowijayan kamu akan menjumpai hotel dan penginapan. Tapi tempat menginap yang laris oleh backpacker justru ada di dalam Gang 1 dan Gang 2. Aku sempat menanyakan kamar di Losmen Setia Kawan tapi rupanya penuh. Jadi aku mampir di restorannya saja, Bedhot Resto.

Menu yang patut dicoba adalah tempe mendoannya! Satu porsi seharga 14.000 berisi tiga potong tempe. Mungkin aku sedang lapar atau aku kangen tempe mendoan tapi aku sangat suka makan mendoan di sini 🙂

Via Via Resto

Sejauh yang aku coba makanan versi restoran atau kafe yang paling nikmat adalah di Via Via Resto. Menu yang disajikan adalah menu internasional. Harga makanan di restoran atau kafe internasional ada di kisaran 60.000 rupiah. Kalau bukan di Via Via Resto, masih jauh lebih nikmat makan gudeg atau makan di angkringan!

Kupat Tahu Bandung, Yogya, dan Solo

Awalnya aku pikir semua kupat tahu sama saja. Ternyata kupat tahu di Yogyakarta berbeda dari kupat tahu yang selama ini aku kenal. Kalau di Bandung kupat tahu biasanya menggunakan petis (maka namanya kupat tahu petis), menggunakan bumbu kacang yang diuleg, tauge, dan timun.

Bahan-bahan utama kupat tahu versi Yogyakarta yang aku coba di dekat alun-alun selatan tentunya ada dua: ketupat dan tahu. Bedanya kupat tahu di sini berkuah. Selain itu ada tambahan bihun dan bakwan (sejenis bakwan malang).

Kupat tahu yang aku coba di Solo lebih berbeda lagi. Di sini bumbunya berkuah tanpa kacang, dan rasanya manis. Warnanya lebih seperti cuka pempek. Kacang tanah ditabur begitu saja tanpa diuleg menjadi bumbu. Disamping ketupat dan tahu, kupat tahu ini disajikan dengan mi dan bakwan, serta tauge.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk traveling ke Yogyakarta? Aku sudah mengulasnya di tulisan sebelum ini. Silakan dilirik! Setelah satu minggu berkeliling Yogyakarta, aku tahu bahwa masih banyak tempat-tempat yang harus dikunjungi di sini! Jadi, sampai jumpa kembali Yogyakarta 😉

Comments are closed.